Kamis, 30 April 2015

Niat Saja Tak Mengubah Keadaan

Membeli makan siang selalu tidak dapat terhindarkan untuk mengisi perut yang kosong ketika saya berada di kantor. Saya sering tidak membawa makan siang sama sekali karena nasi belum matang atau sayurnya yang belum matang. Saya juga kadang-kadang sudah terburu-buru agar tidak telat sehingga tidak sempat membawa bekal.

Siang itu, matahari bersinar dengan gembira. Huh, panas! Matahari, kau sembunyi sajalah di balik awan. Seperti biasa, saya membeli makan siang. Hari itu kami bertiga melangkah ke tempat membeli makanan 'prasmanan' ala Ibu 'Bariah'. Saya tulis dengan tanda petik karena nama si ibu penjual makanan sebenarnya bukan Bariah. Sering membeli makanan tetapi tidak tahu nama penjualnya membuat salah satu teman kerja saya memberikan nama tersebut. Yaa, daripada si ibu, si ibu doang kita menyebutnya, hahaha. Kami tidak bermaksud mengejek kok.

Saya, teman kerja 1, dan teman kerja 2 masih saja melangkah ke tempat membeli makanan tersebut. Jarak tidak terlalu jauh tetapi cukup membuat terik matahari sangat berasa memanaskan kepala kami. Sampai di sana, kami memesan makanan yang langsung dibungkuskan oleh Bu 'Bariah'. Sistem pembelian makanannya mirip dengan sistem di warteg yaitu ada touch screen atau layar sentuh yang kita gunakan untuk menunjuk makanan yang kita mau beli. Kadang-kadang ada sistem pembeli melayani diri sendiri misalnya mengambil plastik dan memasukan gorengan sendiri, menggoreng telur sendiri. Tetapi kegiatan menggoreng sendiri itu berlaku bagi pembeli yang sudah mengenal dan minta izin kepada si ibu saja. Kalau belum, bisa digebok, seperti kata teman kerja 1.

Selesai membeli makanan, kami berjalan kembali ke kantor. Perut sudah berbunyi tanda minta diisi. Di tengah perjalanan pulang (seolah-olah jauh ya perjalanannya), ada bapak-bapak memikul bakul dan tampah. Bapak-bapak ini menjual kue-kue. Teman saya ingin melihat dagangannya maka si bapak menurunkan pikulannya sambil duduk di pinggir jalan.

Si bapak menawarkan dagangannya, "Beli, neng," sambil menunjuk ke kue-kue. "Ada tahu juga."

Rupanya bakul yang ditutup tampah berisi tahu Sumedang yang mungkin dibuat si bapak. Awalnya bapak-bapak ini menyebut tahu dalam bahasa Sunda, menurut teman kerja 1, tetapi saya lupa dia bilang apa. Kata si bapak, "Neng nggak bisa bahasa Sunda?" yang kami jawab 'nggak bisa' (memang tidak bisa meskipun saya pernah belajar waktu di SD). Teman kerja 1 tertarik membeli tahu. Ia membeli sebanyak 10 buah, Rp 5000.

Setelah mendapat tahu dan kembalian, teman kerja 1 berjalan kembali ke kantor bersama kami. Saya hitung sekitar lima langkah setelah kami beranjak dari tempat si bapak menaruh dagangannya, terdengar bunyi barang jatuh (gedubrak atau brak saja). Posisi saya di belakang teman kerja 1 dan teman kerja 2. Saya menengok ke belakang. Kue-kue si bapak jatuh, sepertinya tampah yang ia gunakan menutup bakul kurang seimbang. Saya bergerak ingin kembali untuk menolong. Setelah menengok ke belakang dan sedikit bergerak untuk berjalan balik, saya menengok ke depan lagi untuk melihat teman-teman saya. Tak disangka, teman-teman saya yang tadinya juga menengok ke belakang malah berbalik tetap berjalan kembali ke kantor.

"Wah parah nih nggak ditolongin," kata saya padahal saya ikut berjalan menjauhi si bapak bersama mereka.

Sampai di kantor, kami bercerita perihal hal tersebut kepada teman kantor yang lain. Teman kerja 3 mendiskreditkan kami, hahaha. Jelas, seharusnya kami menolong bapak-bapak tersebut memungut kembali kue-kuenya yang berceceran di atas jalan beraspal untuk ditaru kembali di atas tampah. Saya juga menyesal. Untungnya kue-kue si bapak semua dibungkus plastik sehingga tidak ada yang akan terkena kotoran jalan beraspal.

Menurut teman kerja 1, ia juga sudah mau menolong, tetapi ia melihat saya berbalik badan ke depan lagi yang membuatnya mengurungkan niatnya. Sebaliknya, saya merasa sudah mau menolong, tetapi melihat teman saya di depan terlebih dahulu adalah kesalahan. Saya malah melihat mereka memutar badan berjalan balik ke kantor, ya saya ikut.. Saya menarik kesimpulan bahwa kami saling menunggu reaksi yang lain yang akhirnya kami sama-sama mengira yang lain tidak peduli dan ya sudah ikuti saja, begitu.

Penyesalan selalu tidak ada artinya tanpa tindakan untuk mengubah keadaan. Saya akan melatih diri saya untuk lebih sigap langsung bertindak tanpa menunggu orang lain, apalagi dalam keadaan untuk menolong orang.